Cerpen Jilid 6: Rindu di Ujung Waktu, Antara Aku dan Suamiku yang Wafat
Suasana senja yang hangat menyambutku di teras rumah. Setelah seharian beraktivitas, aku duduk di kursi goyang kesayanganku sambil memandangi langit yang mulai menggelap. Di tanganku, tergenggam buku kenangan kami berdua, berisi foto-foto dan cerita cinta yang tak akan pernah pudar.
Aku, Fatimah, adalah seorang ibu rumah tangga yang tegar. Suamiku, Ahmad, adalah seorang pria yang tak hanya tampan, tetapi juga berhati mulia. Dia meninggal dalam sebuah kecelakaan tragis lima tahun yang lalu, meninggalkanku bersama dua anak kami, Yasin dan Zahra.
Kehidupanku tak pernah sama sejak kepergian Ahmad. Rasa rindu itu terus menggelayut di hatiku seperti benang halus yang tak terputus. Tiap malam, ketika bintang-bintang bersinar di langit, aku membayangkan dia ada di sampingku, memelukku dengan penuh kasih sayang. Namun, nyata atau tidak, kehadiran Ahmad hanya ada dalam kenangan indah dan cinta yang terukir dalam kalbu.
Suatu hari, ketika aku tengah berkegiatan di dapur, terdengarlah suara gemuruh yang menderu dari langit. Tanah mulai bergoncang hebat, membuatku ketakutan. Aku berlari ke halaman rumah, dan di tengah-tengah kerumunan tetangga yang panik, aku menyadari ada portal ajaib yang terbentuk di tengah pekarangan rumahku.
Kegelapan yang dalam memancar dari portal itu, dan aku merasakan suatu kekuatan menarikku ke dalamnya. Dengan ragu, aku melemparkan diriku ke dalam gelapnya. Rasanya seperti melayang di dalam angkasa, waktu berputar begitu cepat sehingga aku tak bisa membedakan antara realitas dan mimpi.
Ketika aku membuka mata, aku mendapati diriku berada di tengah suatu tempat yang asing. Suasana yang dihadapiku begitu megah dan tenang, dikelilingi oleh taman yang subur dan air terjun yang mempesona. Tak lama kemudian, aku melihat sosok yang kukenali dengan segera.
"Ahmad?" seruku dengan terbata-bata.
Ia tersenyum lembut, sepertinya menyambutku dengan bahagia. Aku mendekat dan merasakan kehangatan pelukan yang sudah lama kutinggalkan. Kami berdua saling bertatapan dalam diam, hingga aku berani memecahkan keheningan.
"Apa ini surga? Apakah kita berada di tempat yang diciptakan Allah bagi kita?" tanyaku dengan penuh penasaran.
Ahmad tersenyum. "Fatimah, kita berada di antara dunia dan akhirat. Tempat ini adalah anugerah yang Allah berikan untuk mempertemukan kita sekali lagi."
Hatiku terasa lega mendengar penjelasan Ahmad. Namun, dalam kebahagiaan yang kurasakan, aku merasa ada yang belum selesai. Ada suatu kerinduan yang tak terhapuskan dalam diriku, kerinduan untuk melihat anak-anak kita, Yasin dan Zahra.
"Apa Yasin dan Zahra ada di sini juga?" tanyaku dengan cemas.
Ahmad menggeleng lembut. "Mereka masih berada di dunia yang lain, Fatimah. Kehidupan mereka masih berlanjut, dan kita harus membiarkan mereka menemukan takdir mereka sendiri."
Rasa rindu dan kekhawatiran melanda hatiku. Aku ingin sekali melihat anak-anak kami tumbuh dan berkembang. Namun, Ahmad meyakinkanku bahwa Allah selalu menjaga mereka dengan penuh kasih sayang.
Selama berada di antara dunia dan akhirat, aku menghabiskan waktu bersama Ahmad. Kami berjalan-jalan di taman yang indah, bercakap-cakap tentang masa lalu dan mimpi-mimpi masa depan yang tak pernah terwujud. Ahmad menghiburku dengan cerita-cerita lucu dan kehangatan yang selalu membuat hatiku tersenyum.
Namun, waktu berlalu begitu cepat. Aku merasakan kehadiran portal yang menghubungkan dunia ini dengan dunia manusia. Waktuku di sini sudah hampir habis.
"Dunia kita yang baru sebentar lagi akan berpisah lagi, Ahmad," ucapku dengan lirih.
Ahmad menggenggam tanganku dengan penuh kasih. "Kita akan selalu bersatu di dalam hati, Fatimah. Dan ingat, cinta kita tak terbatas oleh waktu dan ruang."
Kami berpelukan untuk terakhir kalinya, rasanya seperti melepas seutas tali yang takkan pernah terputus. Aku melepaskan diriku dari pelukan Ahmad dan melangkah menuju portal yang menyala di kejauhan.
Ketika aku melintasinya, aku merasakan getaran yang kuat, dan sekali lagi aku terlempar dalam aliran waktu yang ganjil. Ketika aku membuka mata, aku kembali berada di teras rumahku yang biasa. Kegelapan dan portal ajaib itu sudah menghilang.
Aku tersenyum sendiri, merasakan hangatnya cinta yang tak terbatas yang masih memancar di dalam diriku. Aku tahu, meski Ahmad tidak ada di sisiku secara fisik, dia akan selalu hadir dalam setiap langkahku, dalam setiap napas yang kuhembuskan.
Dengan rasa syukur dan ketenangan, aku mengambil buku kenangan kami dan duduk kembali di kursi goyang. Aku menatap langit yang kini gelap dan penuh dengan bintang-bintang gemerlap.
Rindu yang dulu menghantuiku kini berubah menjadi kebahagiaan. Aku tahu, suatu saat, saat tiba giliranku untuk menyusul Ahmad, aku akan bertemu dengannya lagi di ujung waktu yang tak terbatas.
Dalam kesendirian yang kudapati di malam itu, aku merasakan pesan yang kuat dan jelas dalam hatiku. Bahwa cinta sejati tidak terhalang oleh kematian atau waktu. Cinta itu abadi dan mengarungi batas-batas dunia yang tampaknya terpisah. Dalam cerita ini, aku belajar untuk menghargai setiap momen yang diberikan oleh Allah, baik di dunia ini maupun di akhirat nanti.
Sejak saat itu, aku menjalani kehidupan dengan penuh pengabdian dan keikhlasan. Aku membimbing Yasin dan Zahra dengan penuh kasih sayang, menjaga agar mereka tumbuh menjadi manusia yang saleh dan bertakwa. Aku menceritakan kisah cinta kami kepada mereka, agar mereka mengerti bahwa cinta sejati adalah anugerah yang tak ternilai.
Setiap malam, aku masih duduk di teras rumah sambil memandangi langit yang dipenuhi bintang-bintang. Tapi kali ini, rindu yang kurasakan tidak lagi hanya kepada Ahmad, melainkan kepada Allah yang maha kuasa. Aku merenungkan keagungan ciptaan-Nya, keajaiban alam semesta yang tak terhingga. Dan dalam rindu itu, aku berbicara dengan-Nya dalam doa-doa yang tulus, memohon petunjuk dan kekuatan dalam menjalani hidup.
Hingga saat ini, kisah cinta kami, cerita tentang rindu di ujung waktu, masih tetap hidup dalam setiap nafasku. Aku menjadi penjaga memori, melestarikan cinta yang kami bagi bersama-sama. Dalam kehidupanku yang sederhana namun penuh keberkahan, aku berharap bahwa pesan cerita ini juga dapat menginspirasi dan memberikan harapan bagi mereka yang pernah kehilangan orang yang dicintai.
Dalam hidup ini, tak ada yang pasti kecuali kematian. Namun, dengan cinta yang tulus dan kepercayaan kepada-Nya, kita dapat melewati segala rindu dan kesedihan. Cinta adalah bekal abadi yang akan selalu mengiringi langkah kita, dari dunia ini hingga ke alam akhirat.
Maka, cerita tentang rindu di ujung waktu ini tidak hanya menjadi cerpen semata, tetapi juga menjadi titik tolak bagi diriku dan bagi siapa pun yang membacanya. Cinta sejati akan terus hidup meskipun batas waktu dan ruang terus berputar. Dan dengan kekuatan cinta, kita dapat menembus semua batasan dan memperoleh kebahagiaan yang abadi.